Senin, 22 Maret 2010

POLEMIK NIKAH SIRRI

“Pa.. gimana ini, Mas Hadi kawin lagi..” Ujar Tutik sambil menangis, menjerit, tangannya dipukul-pukulkan pahanya. “Tenang…Sabar.., coba tanyakan pada mamamu... ia sudah berpengalaman menghadapi masalah seperti ini…”. “Lho….”

Syariat Islam, sebenarnya tidak mengenal istilah Nikah Sirri (Nikah Rahasia/sembunyi). Labeling itu hanya ditemui pada masyarakat lokal. Di Jawa Barat; Bogor, Garut, Tasikmalaya, Sukabumi dan sekitarnya, disebut Kawin Batangan (Nikah Bawah tangan), di Sumatera disebut Kawin Gantung, atau Kawin Tunggu, Di Jawa Timur bagian barat (pada komunitas plural) disebut Kawin Modin, sedangkan daerah santri lazim disebut Nikah Sirri. Namanya boleh berbeda-beda, tapi cita rasanya, sama.
Rosululloh SAW, menganjurkan, setelah usai akad nikah, diproklamirkan melalui walimah (pesta), agar masyarakat tahu status kedua mempelai,(Hadist)- jadi memang gak boleh sembunyi-sembunyi. Sedang tujuan nikah, juga sudah disebut dalam Al Qur’an, cara; memilih pasangan yang baik, membina rumah tangga, memperlakukan suami istri, mengatasi konflik, bercerai, hak dan kewajiban suami istri dan segala macam persoalan rumah tangga, juga sudah dijelaskan Rosul melalui Hadist. Secara substantive jumhur ulama’ sepakat - kalau toh ada perbedaan, hanya masalah-masalah elementer saja, bukan pada inti persoalan nikah - bahwa nikah dianggap sah kalau sesuai dengan aturan ALLOH dan Rosulnya. Titik. Ini pakem, gak boleh dikurangi atau ditambahi –syarat segala – apalagi dirubah. Sedangkan sirrinya (rahasia) nikah, lebih ditekankan pada masalah-masalah personal pelaku nikah (lex specialis), bukan masalah umum (lex generalis).
Persoalan nikah sirri ini muncul, karena early worning atas arogansi birokrasi/pemerintah yang ingin mengatur masalah keyakinan (batin) masyarakat, dan akan dibakukan dalam Undang-undang yang formalistic, yakni Undang-undang Perkawinan yang baru. Mana bisa. Ini kemunduran berfikir. Jangan-jangan, nanti ada Undang-undang Tentang Pokok Peribadatan; setiap muslim wajib sholat di Masjid Jami’, sholat di Mushola kurang Afdol, dan keabsahannya tidak dijamin. Setiap muslim yang telah berzakat Fitrah, harus mampu menunjukkan Sertifikat Zakat Fitrah yang diterbitkan oleh KAU setempat. Kalau mau ibadah haji, -usulan Najiyulloh, kabid Gara Haji Depag Jatim - wajib mempunyai sertipikat lulus manasik haji, yang dikeluarkan Depag, tentunya. Lhah… Ini kebablasan bin runyam namanya, masak ibadah kok pakai syarat formal yang full birokratik segala.
Keruhnya persoalan Nikah sirri ini mencuat, karena wacana anggota DPR RI yang diperkuat oleh Maria Ulfa, Ketua Fatayat NU dan personil anggota MUI, yang diamini oleh Mahfudz MD ketua MK. Statement yang meresahkan itu, pertama; Anak hasil Nikah Sirri, bukan anak sah menurut perundang-undangan, sebab tidak mempunyai Surat Akta Kelahiran, konsekwensinya tidak dapat masuk sekolah negeri, dari TK sampai Perguruan tinggi, tidak dapat jadi PNS, tidak bisa menjadi ABRI dan POLRI, tidak boleh menerima warisan dari ayahnya, tidak dapat keluar negeri, walau ibadah Haji. Yang kedua, Pelaku Nikah Sirri dapat dipidana karena melanggar UU Perkawinan. Kesimpulannya, anak hasil Nikah Sirri; lebih terampas Hak Azazinya dan hak-hak yang lain, dibanding dengan anak PKI dijaman ORBA dulu, pelaku nikah sirri lebih hina dan membahayakan kelangsungan dan kesucian keturunan, dibanding pelaku zina, maupun mucikari. Anak kandung di tinggalkan, beruk mengandung dinina bobokkan, kata orang Sunda….eh..Padang.
Ini musibah yang besar bagi perkembangan demokratisasi Indonesia. Kontra produktif dalam membangun percepatan peradapan bangsa. Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah, ini slogan birokrat jaman bahuela, yang kini mau dihidupkan lagi, dengan alasan; demi ketertiban administrasi dan hukum.
Bukankah lebih baik kalau kita berfikir secara bijak dan holistic, daripada mau membuat aturan, tetapi berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat?. Ketertiban administrasi itu baik, tapi jangan sampai mempersulit masyarakat, “yassirru wala tuasiirru” permudahlah segala urusan, jangan sampai dipersulit. Lihat fakta-fakta yang hidup dan terjadi di masyarakat bawah, missal; kalau mau nikah resmi di KUA, aturan resmi, hanya membayar Rp 50.000,- beres. Faktanya; untuk mencari surat –surat dr Kepala Desa ada aturan ikutan (rule followed) yang harus dipenuhi, antara lain; harus lunas membayar PBB, membayar administrasi desa, menyumbang 1 kursi untuk balai desa, uang saku Modin yang mengurus surat di KUA, sampai di KAU, juga ada aturan tambahan lagi, yaitu; harus disuntik obat tertentu di Puskesmas, gak mau disuntik, bayar uang administrasi, setelah itu, dilakukan investigasi penelusuran administrasi (rapak) oleh penghulu, uang saku- untuk penghulu – lagi, kalau lengkap, jalan terus, tidak lengkap, misal, wali nya sudah meninggal dunia, harus ada surat keterangan kematian dari Desa, tidak ada, bayar lagi. Kalau dihitung-hitung, mau nikah resmi di KAU, harus mempersiapkan uang minimal Rp 1 juta. Ini kalkulasi masyarakat desa, diwilayah kota lebih besar lagi. Menurut Poniman (nama samaran) seorang penghulu di Kabupaten Kediri;, setiap kali menikahkan seseorang, ia menyetor upeti kepada Kepala KUA sebesar Rp 75.000, dengan pembagian Rp 25.000,- untuk Kepala Depag, dan Rp 50.000,- untuk Kepala KUA. Kalau dalam 1 tahun di Kecamatan tersebut, menikahkan 1000 orang, kepala KUA menikmati uang Rp 50 juta pertahun, sedangkan Kepala Depag menikmati 26 kecamatan X Rp 25 juta,- hitung aja nominalnya, “ini uang sah, bukan uang Negara, bukan korupsi”, katanya menggebu, membenarkan perilaku yang menyimpang tersebut. Makanya didaerah Cirebon selatan, banyak masyarakat yang hanya nikah sirri, sebab tidak mampu membayar biaya nikah resmi di KUA. Ironis kan.
Bukankah lebih baik, kalau seluruh biaya administrasi dari desa sampai KUA itu ditiadakan, itu yang pertama, yang kedua setiap tri wulan sekali, setiap desa menyetor pasangan yang belum resmi menikah, untuk dilakukan nikah massal secara gratis oleh KUA setempat. Ketiga tidak boleh memberi tip, uang lelah atau apapun namanya, kepada perangkat desa dan petugas KUA. “Wah… saya dapat uang dari mana….? , saya cuman PNS golongan II..” katanya memelas…minta dikasihani..
Ini baru masalah di KUA, sedangkan masalah; status anak nikah siri di mata hukum, rapuhnya sistem administrasi, dan konsekwensi hukum pelaku nikah sirri, yang ditinjau dari perspektif yang berbeda, tidak bisa kita bahas di sini, maaf ya…para pembaca…,halamannya terbatas, semoga dewan redaksi berkenan memuat diedisi berikutnya, sampai tuntas..tas..tas…. Okey..

KONTROVERSI PEMIMPIN WANITA

“Pak Modin…, sampean ini gimana… di dalam Al Qur’an kan sudah jelas-jelas diterangkan…, bahwa pemimpin wanita itu haram.., tapi kenapa sampean kok malah mengedarkan Tausiyah pada warga kampung, agar memilih pemimpin wanita…” kata Muhtarom, santri tlecer dalam menjalankan hukum fiqih… “Tuhan aja gak crewet, kenapa kamu yang crewet…” Jawabnya kethus… Wah ….gawat kalau begini……….

Sekarang ini lagi musim PILKADA, - musim rambutan dan durian sudah lewat-, dimana-mana muncul seorang perempuan mengajukan dirinya – atau atas dorongan masyarakat katanya - sebagai pemimpin di suatu wilayah; kabupaten, kota, maupun propinsi. Rata-rata mereka berpotensial dalam kapasitas; ilmu, pengalaman, dana, koneksi, serta pemimpin organisasi dsb. Seluruh persyaratan-persyaratan formal di KPU, sudah dikantonginya, kecuali aturan ilahiyah, yakni Al Qur’an dan Hadist, yang justru malah dilanggar.

ALLOH SWT dalam Al Qur’an telah berfirman; “ kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan” QS. An Nisa’ 34, juga Rosululloh bersabda; “Tidak akan berbahagia suatu kaum, yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita”. Dalil qot’I ini sudah jelas, dan tidak perlu diragukan lagi, tetapi kenyataannya banyak dilakukan rekayasa, agar calon pemimpin wanita mereka, lolos dari jerat hukum ALLOH SWT. “Lho… kalau menghukumi masalah pemimpin wanita, jangan menggunakan fiqih Syar’iyah… tapi gunakanlah Fiqih Siyasah… itu baru pas..” Kata KH Abd Ma’un, Ketua Tanfidz PC NU Kab Lamongan juga merangkap politisi. Itulah salah satu dalih – bukan dalil – penolakan yang digunakan sebagai pengingkaran terhadap Hukum Islam, itu yang pertama, yang kedua, banyak fatwa, tausiyah dikeluarkan oleh Kyai, yang membolehkan –bahkan mendukung- pemimpin wanita. “Kalau ijtihad beliau salah, beliaulah yang pertama kali mempertanggung jawabkannya dihadapan ALLOH, kita ini hanya masyarakat awam, yang cukup bermodal “sam’atan wato’atan” atau “norok bunthek” kata Qodir orang Inggris timur… alias Madura. Ketiga.., kita ini hidup dijaman modern, memperdebatkan halal - haram pemimpin wanita, sudah tidak relevan lagi..kuno, ini diskriminatif namanya…Lho, kok jadi begini..

Inilah suasana yang berkecamuk, tarik-ulur dalam kehidupan masyarakat. Ada yang cuek, acuh – tak acuh, ada pula yang kokoh mempertahankan keyakinannya dengan mantap,…. “Qulil haqqo walau kaana murron” katakanlah yang benar (itu benar) walau pahit rasanya”,… kata Muhtarom cucu pejuang Hizbulloh, dengan mantap.

Marilah persoalan dinamika kehidupan ini, kita urai dengan obyektifitas yang terjaga, agar dapat melihat persoalan ini dengan gamblang, kemudian kita tawarkan kepada pembaca, agar ditelaah dengan hati-hati, selanjutnya agar pembaca memilih sesuai dengan keinginan hatinya. Monggo kita mulai…………..

Kedua dalil diatas, menunjukkan misi utama Islam, yang mendudukkan seorang wanita (sebagai isteri dan Ibu) untuk mendidik generasi yang sholeh, dan menjaga kehormatan keluarga, masyarakat dari kehancuran, kata Ahmad Muhammad Jamal dalam kitabnya “Nisaa’u wa Qadhaya”. Ayat Al Qur’an tidak hanya berhenti disitu, selanjutnya;…..”oleh karena itu, ALLOH melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita)……..”. Inilah ketentuan ALLOH SWT, yang sangat mengetahui hakekat ciptaannya. Dari sini kita bisa menganalisa, ada pembagian peran secara kodrati, antara laki-laki dan perempuan yang dikehendaki ALLOH SWT. Rosululloh SAW pun, sangat konsen dalam memuliakan seorang perempuan (Ibu), ketika ditanya sahabat; “siapakah yang paling berhak kita hormati dan berbakti kepadanya…?”, beliau menjawab; Ibumu,..kemudian Ibumu… kemudian Ibumu, lantas Ayahmu, juga sabda beliau; “Surga itu berada dibawah telapak kaki Ibu”. Apa ini masih kurang…?. Kemuliaan dan Keagungan apalagi yang bisa menandingi derajat ini…., sehingga seorang (Ibu) masih mencari kemuliaan yang lain…, (hakekatnya) ia pasti tidak akan menemukan…., bahkan terjerumus dalam lembah kerugian yang nyata.

Tentang pemimpin wanita ditinjau dari fiqih siyasah..; ketika dalam Al Qur’an dan Hadist telah ditemukan dalil-dalil qod’i, maka dalil-dalil yang diajukan menjadi “butlan” (batal / gugur demi hukum). Beberapa Ulama, memang memperbolehkan pemimpin dari kaum wanita, tetapi beliau memberikan syarat-syarat yang ketatnya luar biasa. ….” wanita itu boleh diangkat sebagai pemimpin, asal dalam suatu wilayah tersebut (kabupaten, kota atau propinsi) tidak ada seorang lelaki yang menandingi atau melampaui kemampuan; intelektualitas (ilmu) dan keadilannya, kalau ada yang menyamai kemampuannya, gugurlah kepemimpinannya, dan harus diganti dengan kaum lelaki..”. Pendapat serupa banyak dijumpai pada kitab-kitab fiqih yang kontemporer maupun salafi. Jadi gak perlu diperlu diperpanjang lagi khan ?.

Sedangkan seorang ulama’ yang mendukung salah satu pemimpin perempun, dengan sikap kita mengikuti air mengalir (nderek dhawuhe kyai), merupakan suatu kepatuhan terhadap otoritas seorang ulama’, sikap ini dapat dibenarkan manakala ia tidak mampu mengambil sikap atau tidak punya kemampuan ilmiah untuk memilih dan memilah, manakah yang paling baik diantara yang terbaik, serta yang tidak melanggar ketentuan dalil yang nash. Lantas mengapa seorang kyai memilih atau menganjurkan untuk memilih, pemimpin perempuan ?. Ini pertanyaan serius yang harus ditelaah lebih hati-hati. Hasil dialog kami dengan para kyai sepuh, disimpulkan sebagai berikut; 1). Para Kyai tersebut, sebenarnya tidak menganjurkan memilih salah seorang calon pemimpin perempuan, beliau hanya memberi restu terhadap calon pemimpin tersebut, yang sowan kepadanya,-(sebagai penghormatan terhadap tamu)- namun tidak menyuruh santri atau anggota jama’ahnya untuk memilih dia. 2). Untuk menjaga kerukunan para santri atau anggota jama’ahnya, agar tidak timbul perpecahan, atau tercipta ketidak harmonisan dalam komonitasnya, sebab menjaga kerukunan lebih penting daripada membiarkan terjadinya perpecahan antar santri atau jama’ah. ….”toh kalau dia korupsi,…pasti dieret-eret KPK..” kilahnya., selanjutnya yang ke 3 adalah, “…kita niat yang baik saja, kalau ALLOH meridhoi dia jadi pemimpin, insya Alloh.. pasti jadi…, kalau Alloh gak ridho…yo gak jadi..” demikian dawuh KH Nurul Huda Jazuli, Murobbi Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri. Ketiga simpulan tersebut memang tidak ada yang melanggar ketentuan Nash, akan tetapi , banyak para santri yang menyesalkan sikap para kyai yang condong pada salah satu pilihan. …” inikan perkoro donyo..gak perlu para kyai ikut arus para politisi…yang akhirnya akan mengurangi kewibawaan dan martabat dimata manusia, dan jauh dari Rahmat Alloh…” ujarnya lirih.

Sedangkan masalah, jaman modern yang gak perlu mempersoalkan halal –haram pemimpin wanita, ini jelas- jelas kita tolak. Sebab dalam hidup dan kehidupan ini, ada aturan yang mengatur pola kehidupan, agar tercipta keharmonisan dan selamat dalam mengarungi hidup dan setelah kehidupan (akherat), gak perduli jaman apapun, baik modern, posmo modern atau ultra modern sekalipun. Halal – haram adalah ketentuan syar’iyah yang diajarkan Alloh melalui Rasul, kemudian disebarkan oleh para ulama, kalau menolak ketentuan (hukum) tsb, berarti tidak beragama (islam) . titik.

Lantas bagaimana kita mensikapi persoalan ini…?, gampang… , silahkan anda pilih; kalau anda bersikap menolak pemimpin perempuan dengan dasar Al Quran dan Hadist, dalilnya seperti diatas, ini bagus dan paling tepat,…. tetapi kalau anda memilih pemimpin perempuan, jangan gunakan dalil yang bertentangan dengan Al Quran dan Hadist tadi, tapi pakailah alasan-alasan seperti yang dilakukan para kyai tadi, aman…

Namun bagaimana sikap kita apabila ada seorang Kyai, mendukung pemimpin perempuan dengan menggunakan dalil yang tidak tepat.. Gus…? Tanya Muhtarom, “..biarin aja.. kalau dia benar, berarti dia telah menyampaikan kebenaran.., kalau dia salah, doakan agar mendapat hidayah dari Alloh…sing penting podo rukun..” jawab Cucu K. Ruhani kalem, “tapi ketahuilah… ini jaman akhir.. orang yang tafaqquh fiddin –memegang agama dengan kuat-, laksana memegang bara api, jarang yang kuat… kalau ia mampu… insya Alloh.. inilah yang selamat…sampai akherat..” petuahnya arif tapi menghujam hati, menggetarkan sanubari. Inilah…hiruk pikuk persoalan apapun, selalu dijawab dengan damai, senyum penuh keakraban dan menyejukkan oleh Kyai Thoriqoh ini, persoalan telah terurai dan ganjalan hatipun hilang.